Oleh: atep t hadiwa js | September 21, 2008

MAKNA MENDALAM DARI SUATU CIPTA SASTRA YANG SEDERHANA

Sewaktu dulu kita sering mendengar senandung anak-anak melantunkan sebuah lirik ini:

Pelangi-pelangi,
Alangkah indahmu,
Merah kuning hijau di langit yang biru,
Pelukismu agung,
Siapa gerangan,
Pelangi-pelangi,
Ciptaan Tuhan.

Setiap anak pada waktu itu sangat mengenal dan hapal sekali lirik ini. Di manapun mereka berada; di rumah, di sekolah, di tempat bermain, atau di mana saja, lirik ini sangat akrab dengan kesehariannya.
Saya pernah memuat lirik yang hampir terlupakan ini menjadi motto hidup, dan memaknainya dengan ‘kesederhanaan’. Sesuatu yang sederhana biasanya begitu mudah terlupakan, padahal di dalamnya tidak sedikit selalu memberikan makna yang mendalam untuk merenung kembali tentang hidup. Secara tidak langsung kebiasaan anak-anak mendendangkan lirik ini, sepertinya sangat memberikan makna bagi mereka sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya. Bahkan, tidak mustahil lirik-lirik sederhana seperti inilah yang turut menentukan dan membentuk pribadi anak-anak (seseorang) menjadi pribadi dengan kualitas pemenuhan aktualitas diri yang syarat dengan norma, etika, pemahaman baik dan tidak baik, dsb. Pada gilirannya kemudian, si anak terbentuk menjadi manusia sebagai generasi harapan yang berkualitas.

Terlihat sederhana, karena lirik ini berdiksi sangat akrab dengan usia anak-anak dan mudah dipahami. Namun di dalamnya, ternyata bertemali dengan suatu makna yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan; sebagai mahluk sosial, dan mahluk yang memegang teguh keyakinan (beragama). Ada perenungan tentang alam, juga perenungan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.

Saya bangga dengan lirik-lirik seperti ini, bahkan berpandangan perlu kembali dikenalkan (diakrabkan) pada dunia anak-anak sekarang, misalnya; kembali dijadikan sebagai media belajar pada anak-anak usia TK atau SD. Banyak memang lirik-lirik lain yang lebih mutakhir, dan sudah digunakan sebagai media belajar mereka saat ini. Namun tidak ada salahnya, apabila kembali kita renungkan lirik-lirik seperti ini untuk para generasi kita.

Bentuk dan lirik seperti ini, hanya salah satunya saja. Kebetulan bentuk ini berupa syair (puisi) yang biasa didendangkan, sehingga menjadi lagu anak-anak. Bentuk-bentuk lainnya sangat banyak, apakah itu dalam bentuk permainan, lagu dan peragaan, atau hasil cipta sastra dan budaya lainnya. Biasanya selalu mengikuti dan disesuaikan dengan warna sastra lokal (daerah).
Di daerah priangan misalnya, terbentuk dalam lirik-lirik pupuh. Salah satunya seperti ini :

Héy barudak, kudu mikir tileuleutik
Manéh kahutangan
Ku kolot ti barang lahir
Nepi ka ayeuna pisan.

Lirik ini sangat penuh dengan nilai kehidupan, pesan moral, dan pesan pendidikan. Sayang, entah sejak kapan anak-anak sekarang ini kurang akrab dengan lirik-lirik seperti ini. Padahal, jika lirik-lirik ini dipertahankan akrab dengan mereka apalagi sudah bisa ‘ngabaju miragasukma’, tampaknya akan bermanfaat sangat besar dalam pembentukan kepribadiannya.

Kita lihat lirik lain, seperti ini :

Éling-éling murangkalih,
Kudu apik jeung berséka,
Ulah odoh ku panganggo,
Kotor geuwat seuseuhan, soéh geuwat kaputan
Kanu buruk masing butuh, kanu anyar masing lebar.

Hampir sama dengan bentuk (lirik) lainnya, makna dan nilai di dalamnya sangat mendalam. Lagi-lagi sangat disayangkan, lirik ini pun sudah jarang terdengar dilantunkan mereka saat ini.
Barangkali saya hanya berpandangan bahwa sejumlah lirik-lirik seperti ini sangat penting dan sangat bermakna mendalam, serta bertemali dengan pembentukan sikap dan kepribadian seseorang. Saya berharap ada teman lain yang memaparkan lengkap terhadap lirik-lirik sederhana seperti ini, karena di dalamnya terkandung nilai cipta sastra yang sangat mengagumkan. Diantos!


Tanggapan

  1. lirik2 priangan itu kalau di jawa tengah identik dg geguritan. banyak nilai kearifan lokal yang bisa kita gali dari sana. sayangnya, banyak generasi muda sekarang yang sudah mulai melupakannya.

  2. Betuk pak Sawali. setelah merantau ke Kalimantan )sejak awal 1991sampe sekarang) saya mencoba mengingat-ingat kembali budaya leluhur. bahkan saya sedang berusaha bergabung bersama teman-teman perantau untu menghidupkan kembali budaya adi luhung yang hampir terlindas zaman. Pada gilirannya kita hanya bisa protes setelah negara tetangga mengklaim budaya kita. perkumpulan kami ada di http://pawartalamat.wordpress.com

  3. @ barangkali ada kesamaan lirik dengan geguritan jawa tengah ya pak Sawali. kapan-kapan saya ingin mengenalnya juga, berkenan kan? terima kasih.

    @ terima kasih pak budi kunjungannya, salam kenal. wah cukup lama juga berada di kalimantan. biasanya budaya leluhur akan semakin terasa jika sedang di perantauan. semoga sukses dengan perkumpulan budaya leluhurnya.

  4. anak muda sekarang kecenderungan untuk “menghindar” dari nasihat, anjuran, pepatah yang baik dan benar, anak muda sekarang kecenderungan menagrah pada kebebasan yang tidak teratur sehingga “pepatah” dianggapnya kuno, itulah tandanya akhir zaman, lirik puisi lama sangat syarat dengan makna dan amanat, namun sayang sepertinya ada sebuah generasi yang putus untuk menyampaikan informasi puisi lama yang penuh makna itu.


Tinggalkan komentar

Kategori